4 MIN READ

Terletak di atas Cincin Api Pasifik, Indonesia kaya akan energi panas bumi. Negeri ini telah mengembangkan sumber energi terbarukan selama lebih dari 40 tahun dan memiliki sumber daya energi panas bumi terbesar kedua di dunia. Cadangan listrik sebesar 2,1 gigawatt sudah lebih dari cukup untuk menyuplai kebutuhan dua juta rumah.

Potensi energi panas bumi Indonesia terhitung mencapai 29 gigawatt, atau 40 persen dari total kapasitas global. Dengan cadangan listrik yang melimpah dan target produksi energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025, pemerintah Indonesia tengah dalam proses mempercepat pengembangannya.  

Memegang peran kunci dalam upaya ini, Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebagai anak perusahaan BUMN di bidang pengembangan minyak dan gas bumi, sedang berupaya melipatgandakan jumlah produksi untuk lima tahun ke depan. PGE telah beroperasi selama 35 tahun dan saat ini menjalankan delapan pembangkit listrik tenaga panas bumi yang menghasilkan 642 megawatt listrik.  

“Kami berupaya mengembangkan area baru dan menambah pembangkit listrik,” ujar Ardilla Johan Erdiansyah, reliability engineer di PGE. “Kami juga berupaya untuk memonitor operasi dan mengevaluasi apa yang kami miliki saat ini.” 

Untuk mencapai tujuan pertumbuhan PGE, Erdiansyah dan rekan-rekannya menggunakan teknologi sistem informasi geografis (SIG) untuk eksplorasi dan pengembangan energi panas bumi dan untuk memastikan efisiensi operasi perusahaan. 

Pembangkit listrik dan geografi  

Lima pulau besar di Indonesia serta 17.508 pulau lainnya memiliki potensi energi panas bumi vulkanik dan non vulkanik. PGE menggunakan peta dan aplikasi berbasis SIG untuk menilai dan mencatat kelayakan setiap lokasi yang memiliki potensi, mengumpulkan observasi lapangan dan bacaan dari alat pengujian.

Geothermal plant
Teknisi mengoperasikan mesin pada pembangkit listrik Pertamina Geothermal Energy Ulubelu di Lampung. Pembangkit tersebut menghasilkan total 220 MW listrik, atau 25 persen dari seluruh jaringan listrik Lampung.

Berbagai peta digunakan untuk memandu tim eksplorasi ke lokasi patahan, gunung api, dan mata air panas. Tim kemudian merekam data geofisika dan geokimia di setiap lokasi yang memiliki potensi untuk kemudian ditambahkan ke peta. Hasil bacaan tersebut digunakan oleh tim future development untuk memastikan lokasi terbaik pengeboran sumur panas bumi baru dan instalasi jaringan distribusi.

“Biaya operasional pembangkit tenaga panas bumi sangat kecil dibandingkan dengan biaya pengeboran dan infrastrukturnya,” jelas Wanda Kurniawan, teknisi operasional di PGE.

Dengan risiko yang besar pada fase eksplorasi dan pengembangan, diperlukan monitoring dan analisis terhadap setiap lokasi potensial untuk membuat peta yang tepat.

Pengeboran sumur-sumur dilakukan beberapa mil ke dalam tanah untuk memompa air panas dengan tekanan tinggi. Tekanan kemudian dikurangi saat air mendekati permukaan hingga menghasilkan uap yang menghasilkan tenaga listrik. Uap tersebut kemudian dipindahkan ke menara pendingin sebelum dikembalikan ke bawah tanah dalam bentuk air untuk memulai kembali proses tersebut.

Energi panas bumi memiliki banyak keuntungan, seperti tidak diperlukannya bahan bakar, tersedia sepanjang waktu, dan emisi karbon yang rendah. Meski demikian, temperatur di beberapa lokasi pembangkit akan turun seiring waktu.

“Baru-baru ini, jumlah produksi menurun di salah satu pembangkit energi panas bumi kami,” kata Erdiansyah. “Kami membutuhkan waktu untuk menganalisis penyebab utamanya karena kami hanya memiliki data numerik. Kami pada akhirnya menemukan kesalahaan dan menonaktifkan pembangkit sebagai upaya pemeliharaan. Dengan data lokasi dan visualisasi yang lebih komprehensif, kami dapat memonitor riwayat masalah dengan lebih cepat dan efisien.” 

Mengukur dan memantau

Operator bergantung pada SIG untuk memantau pembangkit dan kondisi di sekitarnya. Risiko pembangkit listrik di antaranya longsor akibat musim penghujan, tanah yang tidak stabil, serta paparan terhadap hidrogen sulfida (H2S)—produk sampingan gas yang beracun, korosif, dan mudah terbakar yang dihasilkan dari proses pemompaan. Dengan mengombinasikan data geospasial dengan data cuaca, operator dapat menentukan potensi longsor dan memberikan peringatan bahaya lebih dini. Dengan melakukan pemetaan terhadap semua hasil bacaan H2S, mereka dapat menginformasikan para pekerja mengenai area mana saja yang harus dihindari. 

ArcGIS Insights
PGE memonitor berbagai variabel dan menganalisis input dari banyak sensor untuk memahami efisiensi operasi dari pembangkit listrik tenaga panas bumi.

“Kami menghasilkan banyak data setiap hari dari bawah permukaan hingga permukaan tanah,” ujar Kurniawan. “Kami merekam data terkait tekanan wellhead, tekanan line, temperatur sumur, dan laju aliran uap yang diproduksi dari sumur panas bumi. Dengan melihat data operasi secara geospasial, kami dapat melihat perkembangan lokasi uap kami dari waktu ke waktu.”

PGE saat ini telah menyelesaikan uji coba untuk menyelidiki dan menampilkan metrik kinerja pada satu pembangkit listrik menggunakan analisis workbench dengan ArcGIS Insights.

Kemampuan yang diperoleh melalui SIG dapat meningkatkan kewaspadaan, mengurangi risiko, dan meningkatkan efisiensi, mendukung tujuan PGE dan tanah air untuk meningkatkan produksi energi panas bumi secara signifikan.

“Menggabungkan data operasional dan data geospasial memungkinkan kami melihat apa yang belum pernah kami lihat sebelumnya,” tutur Kurniawan. “Kami dapat melihat tekanan wellhead dari waktu ke waktu dan memperoleh aspek spasial untuk memperluas wawasan kami guna mengevaluasi proyek kami secara lebih lengkap.”

Artikel ini ditulis oleh Brett Dixon dan diterbitkan pertama kali di Blog Esri.

Lightbox: industry subscription